Drs. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada usia 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Latar Belakang
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Bukittinggi, di kota kecil yang indah inilah tempat Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke Hoogere Burger School (HBS, setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda, 15 tahun, akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke Meer Uitgebereid Lagere Onderewijs (MULO) di Padang dan menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang.
Pada tahun 1919, ketika ia melanjutkan studinya ke Sekolah Tinggi Dagang "Prins Hendrik School", Batavia, ia pun aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik kala itu.
Pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging).
Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1925.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Ia non-aktif dalam PI pada tahun 1924 untuk menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik. Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1926, ia terpilih menjadi Ketua PI.
Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Perjuangan dan Pergerakan
Saat berusia 15 tahun, ketika studi di MULO, ia telah tertarik pada pergerakan. Pada tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Lalu ia merintis karier menjadi aktivis organisasi tersebut, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Sebagai seorang bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari begitu pentingnya arti keuangan bagi berlangsung hidupnya sebuah perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat, menarik perhatian, dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta semakin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang bermukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya. Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta juga menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja.
Masa Studi di Belanda
Semenjak September 1921, Hatta bertolak ke Belanda. Hubungannya itu terus berlanjut meski berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta. Ia pun bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan (eksterniran) akibat kritik mereka lewat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.
Hatta mengawali karier pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi di tahun 1925 menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antar anggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik. Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Di kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Hatta menjadi Voorzitter (Ketua) PI terlama yaitu sejak awal tahun 1926 hingga 1930, sebelumnya setiap ketua hanya menjabat selama setahun. Perhimpunan Indonesia tidak mempunyai cabang di Indonesia, akan tetapi mempunyai hubungan erat dengan dengan orang-orang sehaluan. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. Perhimpunan Indonesia kemudian menggalakkan secara terencana propaganda tentang Perhimpunan Indonesia ke luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonialisme, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu. Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap di Den Haag dan dibawa ke penjara Casiusstraat oleh pemerintah Belanda beserta rekannya yang lain, yaitu: Abdul Madjid Djojoadiningrat, Ali Sastroamidjojo, dan Nazir St. Pamuntjak selama lima setengah bulan. Dalam sidang mahkamah pengadilan di Den Haag, 22 Maret 1928, Hatta mengatakan, PI menjalankan daya upaya dalam menguatkan eenheidgedachte bagi seluruh Bangsa Indonesia. Dengan kata lain, semangat persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia itu sudah dimulai oleh para mahasiswa di negeri seberang laut tersebut. Ia menegaskan kembali konflik kepentingan antara negara penjajah dan daerah jajahan. Karena Pidato pembelaan Hatta yang mengagumkan tersebut, akhirnya ia dibebaskan beserta ketiga rekannya dari segala tuduhan, dan pidato pembelaannya itu terkenal dengan: Indonesia Free, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", selanjutnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul "Indonesia Merdeka".
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932 Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933). Setelah Soekarno dibuang ke Ende, Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel pada bulan Februari 1934. Seluruhnya berjumlah tujuh orang, dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Bondan, bersama Soetan Sjahrir, ketua Partai Pendidikan Nasional Indonesia, dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”. Setelah ke Digul, Hatta kemudian diasingkan ke Banda selama 6 tahun.
Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa - Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Perjuangan Kemerdekaan
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Drs. Mohammad Hatta secara aklamasi diangkat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, bersama Ir. Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Kehidupan Pribadi
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember 1945 di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Karena hobinya membaca, maka Bung Hatta pun mempunyai perpustakaan pribadi. Perpustakaan Bung Hatta memiliki lebih dari 8.000 buku, terdiri dari Sejarah, Budaya, Politik, Bahasa dan lain-lain. Hal inilah yang turut menyumbang kemampuan Beliau dalam berdiplomasi utnuk memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.
Tokoh Organisasi dan Partai Politik
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ai disebut sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”.
Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remeja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini dikaitkan dengan usaha melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di dunia politik Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan politik Bung Hatta.
Setelah perang dunia I berakhir generasi muda Indonesia yang berprestasi makin banyak yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan luar negeri seperti di Belanda, Kairo (Mesir). Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya politik balas budi oleh Belanda. Bung Hatta adalah salah seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat kesempatan belajar di Belanda. Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi Bung Hatta, sebenarnya telah tumbuh sewaktu beliau berada di Indonesia. Beliau pernah menjadi ketua Jong Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara dengan asahan dari kultur pendidikan Belanda / Eropa yang bernafas demokrasi dan keterbukaan.
Keinginan dan semangat berorganisasi Bung Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif di kelompok Indonesische Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia yang memikirkan dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam organisasi ini dinyatakan bahwa tujuan mereka adalah : “ kemerdekaan bagi Indonesia “. Dalam organisasi yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin “tahan banting” karena banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi.
Walau mendapat tekanan, organisasi Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan Januari 1925 organisasi ini dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang kemudian dinamai Perhimpunan Indonesia (PI). Dan dalam organisasi ini Bung Hatta bertindak sebagai Pemimpinnya. Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi dan partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda beliau juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno tahun 1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta menitik beratkan kegiatannya dibidang pendidikan. Beliau melihat bahwa melalui pendidikanlah rakyat akan mampu mencapai kemerdekaan. Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan membahayakan bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk mengurangi pengaruhnya pada rakyat. Hal ini dilihat dari propaganda dan profokasi PNI tehadap penduduk untuk mengusakan kemerdekaan. Hingga akhirnya Bunga Karno di tangkap dan demi keamanan organisasi ini membubarkan diri.
Tak lama setetah PNI (Partai Nasional Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti yang dinamanakan Partindo (Partai Indonesia). Mereka memiliki sifat organisasi yang radikal dan nyata-nyata menentang Belanda. Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai Nasional Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai pemimpin. Organisasi ini memperhatikan “ kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan menganjurkan rakyat dalam bidang kebathinan dan mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan demokrasi untuk kemerdekaan “.
Organisasi ini berkembang dengan pesat, bayangkan pada kongres I di Bandung 1932 anggotanya baru 2000 orang dan setahun kemudian telah memiliki 65 cabang di Indonesia. Organisasi ini mendapat pengikut dari penduduk desa yang ingin mendapat dan mengenyam pendidikan. Di PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan Syahrir yang merupakan teman akrabnya sejak di Belanda. Hal ini makin memajukan organisasi ini di dunia pendidikan Indonesia waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan dilihat Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai penjajah di Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa ketetapan ditahun 1933 diantaranya:
* Polisi diperintahkan bertindak keras terhadap rapat-rapat PNI Pendidikan.
* 27 Juni 1933, pegawai negeri dilarang menjadi anggota PNI Pendidikan.
* 1 Agustus 1933, diadakan pelarangan rapat-rapat PNI Pendidikan di seluruh Indonesia.
Akhirnya ditahun 1934 Partai Nasional Indonesia Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial Belanda di bubarkan dan dilarang keras bersama beberapa organisasi lain yang dianggap membahayakan seperti : Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan yang dituangkan dalam surat kabar ikut di hancurkan dan surat kabar yang menerbitkan ikut di bredel. Namun secara keorganisasian, Hatta sebagai pemimpin tak mau menyatakan organisasinya telah bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke Flores diikuti dengan pengasingan Hatta dan Syahrir. Walau para pemimpin di asingkan namun para pengikut mereka tetap konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI Pendidikan tetap memberikan kursus-kursus, pelatihan-pelatuhan baik melalui tulisan maupun dengan kunjungan kerumah-rumah penduduk.
Dalam sidang masalah PNI Pendidikan M.Hatta, Syahrir, Maskun, Burhanuddin ,Bondan dan Murwoto dinyatakan bersalah dan dibuang ke Boven Digul (Papua). Demi harapan terciptanya ketenangan di daerah jajahan. Walau telah mendapat hambatan yang begitu besar namun perjuangan Hatta tak hanya sampai disitu, beliau terus berjuang dan salah satu hasil perjuangan Hatta dan para pahlawan lain tersebut adalah kemerdekaan yang telah kita raih dan kita rasakan sekarang.
Sebagai tulisan singkat mengenai sejarah ketokohan Muhammad Hatta di organisasi dan partai politik yang pernah beliau geluti, kita haruslah dapat mengambil pelajaran dari hal ini. Karena sejarah tak berarti apa-apa bila kita tak mampu mengambil manfaat dan nilai-nilai positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta di dunia politik kita bisa melihat bahwa : Munculnya seorang tokoh penting dan memiliki jiwa patriot yang tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak serta memajukan bangsa dan negara “bukan hanya muncul dalam satu malam” atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah sosok yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan sosok pemerhati masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan contoh dan panutan dalam organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat, ia terlatih untuk mampu memahami keinginan dan cita-cita masyarakat, serta bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman.
Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi, terutama di era reformasi kita bisa melihat bahwa di Indonesia berkembang berbagai partai baru yang jumlahnya telah puluhan. Dalam kenyataanya memunculkan nama-nama baru sebagai tokoh, elit partai, elit politik yang berpengaruh di berbagai partai tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan wajah-wajah lama yang konsisten di partainya atau beralih membentuk partai baru. Apakah mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite partai?. Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung Hatta kita harus mampu melihat berapa persen diantara tokoh-tokoh, orang-orang penting, elite politik / elite partai di Indonesia sekarang yang telah memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen diantara mereka yang sudah melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, kebanyakan kita melihat tokoh politik, elite politik dan tokoh-tokoh partai di Indonesia dewasa ini kurang memperhatikan kehidupan dan kemajuan masyarakat. Mereka hanya mengambil simpati masyarakat disaat-saat mereka membutuhkan suara dan partisipasi penduduk, seperti saat-saat akan diadakannnya pemilihan umum (nasional), saat diadakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada), setelah kegiatan itu berlangsung mereka mulai meninggalkan dan melupakan masyarakat. Namun ada beberapa partai dan tokoh yang sering terlihat dalam berbagai kegiatan social dan memperhatikan masyarakat.
Apakah kita masih menganggap bahwa seorang penjahat, pemaling (koruptor) yang lolos dari sergapan hukum sebagai tokoh panutan kita di organisasi, partai politik, pemerintahan, atau kehidupan sehari-hari? Jadi pantaslah kita belajar dari ketokohan Muhammad Hatta dalam kehidupan politiknya yang selalu bertindak demi kesejahteraan dan kemajuan rakyat Indonesia.
Akhir Hayat
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Suri Teladan dari Bung Hatta
Salah satu karya monumental beliau adalah ide tentang pembentukan koperasi. Pemikiran ini kemudian beliau tuangkan melalui pembentukan koperasi pengusaha batik yang berhasil mendorong kemajuan bagi pengusaha batik sampai bisa ekspor ke luar negeri.
Pada saat bangsa Indonesia masih berkutat untuk menumbuhkan minat baca, pemikiran beliau sudah jauh lebih maju dengan memberikan teladan bangsa Indonesia untuk menumbuhkan budaya menulis. Kegiatan tulis-menulis ini telah beliau lakukan sejak masih belajar di negeri Belanda sampai akhir hayatnya. Tak terhitung lagi jumlah artikel dan buku yang telah beliau tulis. Sebuah monumen intelektual berupa perpustakaan di Bukittinggi pun telah didirikan untuk mengenang Pak Hatta.
Ada cerita yang bisa dijadikan teladan bagi kita, cerita yang mungkin jarang diketahui oleh banyak orang tentang bung Hatta.
Dulu saat tahun 1950-an, ada sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi bernama Bally. Dan harganya tentulah tidak murah. Bung Hatta berminat ingin membeli sepatu Bally suatu hari nanti. Maka beliau kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.
Namun, hingga akhir hayat beliau, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi karena tabungan itu selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini adalah guntingan iklan sepatu Bally itu masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana Bung Hatta saat beliau wafat. Padahal jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu yang masuk dalam jajaran tinggi wakil negara, sebenarnya sangatlah mudah bagi Bung Hatta untuk memperoleh sepatu Bally.
Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Beliau tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri pada orang lain. Bung Hatta lebih memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena beliau lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Itulah salah satu teladan besar yang beliau tinggalkan, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, santun bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.
Dr.(H.C.). Drs. H. Mohammad Hatta | |
Masa jabatan 18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu | Tidak ada, jabatan baru |
Pengganti | Sri Sultan Hamengkubuwono IX |
Masa jabatan 29 Januari 1948 – 16 Januari 1950 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu | Amir Sjarifuddin |
Pengganti | Abdul Halim |
Masa jabatan 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu | Amir Sjarifuddin |
Pengganti | Sri Sultan Hamengkubuwono IX |
Lahir | 12 Agustus 1902 Bukittinggi, Sumatera Barat, Hindia Belanda |
Meninggal | 14 Maret 1980 (umur 77) Jakarta, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Non Partai |
Suami/Istri | Rahmi Rachim |
Anak | Meutia Hatta Gemala Hatta Halida Hatta |
Agama | Islam |
Sumber : Wikipedia©, tokohindonesia.com, berbagai sumber lainnya
0 komentar:
Posting Komentar
Bagaimanapun komentar anda tetap berharga bagi blog ini. Karena itu terima kasih atas kunjungan dan komentar yang telah anda tinggalkan ...